Kamis, 25 Oktober 2012

GENDER DAN PENDIDIKAN


GENDER DAN PENDIDIKAN

Dikemukakan oleh Bemmelen (2003) ketimpangan gender di bidang pendidikan dapat dilihat dari indikator kuantitatif:
 (1) angka buta huruf
(2) angka partisipasi sekolah,
(3) pilihan bidang studi
(4) komposisi staf pengajar dan kepala sekolah.
Ketimpangan gender dari masing-masing indikator tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.
(1)  Angka Buta Huruf
Melek huruf merupakan syarat utama untuk berpartisipasi dalam kehidupan modern dan pengembangan kualitas sumber daya manusia. Pada berbagai belahan dunia, di antaranya di negara Timur Tengah, Asia Tenggara dan Afrika Sub Sahara, masih dijumpai fakta yang mencengangkan mengenai kondisi perempuan. Anak perempuan atau wanita yang bersekolah (mengenyam pendidikan formal) lebih rendah 75 juta orang daripada anak laki-laki atau pria dan dari jumlah yang buta huruf ternyata dua pertiga adalah perempuan.
Di Indonesia, jenjang pendidikan formal juga menunjukkan perbedaan gender yang signifikan. Tingkat pendidikan formal perempuan secara umum lebih rendah daripada laki-laki (Agung Ariani, 2002).  Di Bali, khususnya di pedesaan (daerah desa) masih banyak perempuan yang tidak lansia umurnya, yakni kelompok umur 10 s.d 44 tahun yang buta huruf jika dibandingkan dengan laki-laki dalam kelompok umur yang sama. Perempuan mencapai angka 11,1 %, sedangkan laki-laki 3,5 %. Namun di perkotaan (daerah kota) ketimpangan gender tidak setajam itu, yakni perempuan mencapai angka 3,6 % sedangkan laki-laki 1,3 % (Putra Astiti, 2002 dan Bemmelen, 2003).
(2)  Angka Partisipasi Sekolah (APS)
Di Indonesia, semakin tinggi tingkat pendidikan formal, semakin sedikitproporsi anak perempuan bersekolah. Sekadar sebagai suatu ilustrasi, dikemukakanoleh Rajab (2002) data tahun 1990 ratio gender (perbandingan antara laki-lakidengan perempuan) sebagai berikut. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) 100 : 95;Kiranya ada empat alasan pokok yang menyebabkan ketimpangan gendertersebut.
(1)  Semakin tinggi tingkat pendidikan formal semakin terbatas jumlahsekolah.
Untuk mengikuti pendidikan formal yang lebih tinggi (SLTP ke atas) yangumumnya terkonsentrasi di kota, baik laki-laki maupun perempuan harus pergi keluar desa atau meninggalkan desa dengan jarak yang relatif jauh. Hal inimemberatkan orang tua terhadap anak perempuan yang bersekolah jauh, karena akan merasa kehilangan tenaga kerja yang membantu di rumah.
(2) Semakin tinggi Tingkat pendidikan, semakin tinggi biaya yang diperlukan.
Bagi keluarga atau rumahtangga yang berlatar belakang ekonomi lemah (miskin), umumnya lebihmengutamakan anak laki-laki untuk mengikuti pendidikan formal yang lebih tinggi,karena tenaga kerja perempuan dibutuhkan di rumah. (3) Investasi pendidikanformal bagi perempuan kerap kali tidak banyak dirasakan oleh orang tua, karenaanak perempuan setelah menikah akan menjadi anggota keluarga suaminya(Suleeman, dalam TO. Ihromi 1995).
(3) Pilihan Bidang Studi
Ketimpangan gender terlihat juga dalam pilihan bidang studi. Hal ini dapatdibuktikan pada sekolah kejuruan, seperti misalnya Sekolah Kepandaian Puteri(SKP), yakni suatu sekolah khusus untuk anak perempuan, Sekolah TeknikMenengah (STM) umumnya untuk anak laki-laki dan sebagainya.
Dalam penjurusandi tingkat SLTA, umumnya anak perempuan lebih banyak mengisi jurusan IlmuPengetahuan Sosial (IPS), sedangkan anak laki-laki lebih banyak mengisi jurusanIlmu Pengetahuan Alam (IPA).Hal ini rupanya tidak terlepas dari stereotype gender, anak perempuan lebih banyak membantu di rumah dengan waktu belajaryang lebih sedikit daripada anak laki-laki.Sedangkan anak laki-laki lebih banyakdipacu belajar dan dibebaskan dari tugas yang berkaitan dengan pekerjaan urusanrumah tangga.
Berkaitan dengan pilihan fakultas dan jurusan di Perguruan Tinggi,dinyatakan oleh Suleeman (dalam T O. Ihromi, 1995), bahwa proporsi laki-laki danperempuan di fakultas dan jurusan di Universitas Indonesia (dalam tahun 1992/1993)menunjukkan ketimpangan gender yang signifikan.Di samping itu, dinyatakan olehAgung Ariani (2002) umumnya perempuan memilih sekolah yang penyelesaianpendidikannya memerlukan waktu pendek dan cepat bisa bekerja.Sebagai alasannyadi antaranya, untuk menunjang ekonomi rumah tangga dan untuk biaya melanjutkanstudi saudara laki-lakinya.
(4) Komposisi Staf Pengajar dan Kepala Sekolah
Ketimpangan gender dapat pula diketahui di kalangan staf pengajar dankepala sekolah. Walaupun dalam tulisan ini tidak ada data kuantitatif, secarakualitatif kenyataan menunjukkan bahwa untuk Sekolah Taman Kanak-kanakdidominasi oleh tenaga pengajar perempuan.Sedangkan untuk SD sampai denganjenjang pendidikan di Perguruan Tinggi, tenaga pengajar laki-laki lebih dominandaripada tenaga pengajar perempuan.Kecendrungan yang serupa juga terlihat dikalangan kepala sekolah dan pimpinan universitas.


Faktor-faktor Penentu Ketimpangan Gender
Faktor-faktor penentu ketimpangan gender di bidang pendidikan meliputi
(1)  masalah lama,
(2)  nilai gender yang dianut oleh masyarakat,
(3)  nilai dan perangender yang terdapat dalam buku ajar,
(4)  nilai gender yang ditanamkan oleh guru
(5)  kebijakan yang bias gender.
Masing-masing faktor itu dapat dijelaskansebagai berikut.
(1) Masalah Lama
Sejak dulu Angka Partisipasi Sekolah anak perempuan lebih rendah daripadalaki-laki dan terfokus pada jenis pendidikan tertentu (Bemmelen, 2003a).Memangdilihat dari latar belakang sejarah, sejak dulu dari masa ke masa atau dari generasi kegenerasi, perempuan selalu lebih sulit mendapatkan akses ke dalam pendidikanformal.Padahal, arti penting pendidikan formal bagi perempuan sudah dirasakansejak lama.
Hal ini sejalan dengan pemikiran R.A Kartini melalui perjuanganemansipasinya, yakni menginginkan pendidikan formal perempuan yang samadengan laki-laki. Dirasakan hanya melalui pendidikan formal, perempuan akan bisaberdiri sama tinggi dengan laki-laki. Menurut R.A. Kartini, laki-laki dan perempuanmempunyai potensi yang sama, oleh karena itu perempuan akan bisa melangkahlebih maju apabila diberikan peluang yang sama dengan laki-laki. Dalam pikiranR.A Kartini, pendidikan formal akan dapat menetralisasikan perbedaan sifat kelaki-lakiandan keperempuanan yang merupakan hasil rekayasa budaya itu. Pendidikanformal diyakininya dapat menghilangkan perbedaan prasangka itu, sehingga yangtinggal hanyalah kodrati biologisnya.
(2) Nilai Gender yang Dianut oleh Masyarakat
Berkaitan dengan pendidikan formal, ada dua nilai gender yang menonjolyang masih berlaku di masyarakat, terutama di masyarakat pedesaan.“Untuk apaanak perempuan disekolahkan (tinggi-tinggi), nanti dia ke dapur juga”. “Untuk apaperempuan disekolahkan (tinggi-tinggi), nanti dia akan menjadi milik orang lainjuga”.Pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal seperti diBali, nilai gender tersebut tampak lebih menonjol.Pada masyarakat yang berpegangpada sistem kekerabatan itu, lebih mengutamakan hubungan keluarga dengan garislaki-laki (ayah) daripada hubungan keluarga dengan garis perempuan (ibu).Dengandemikian, cendrung lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan didalam memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal.



(3) Nilai dan Peran Gender yang Terdapat dalam Buku Ajar
Contoh yang klasik mengenai sosialisasi gender melalui buku ajar diantaranya sebagai berikut. “Ibu memasak di dapur, Bapak membaca koran”. Ibuberbelanja ke pasar, Bapak mencangkul di sawah”.Bentuk seksisme lain; gambar-gambar lebih sering menampilkan anak laki-lakijika dibandingkan dengan anak perempuan dan dalam kegiatan yang lebihbervariasi.
(4) Nilai Gender yang Ditanamkan oleh Guru
Guru merupakan “role model” yang sangat penting di luar lingkungankeluarga anak. Disadari atau tidak, setiap orang termasuk guru mempunyai persepsitentang peran gender yang pantas. Persepsi itu akan disampaikan secara langsungatau tidak langsung kepada murid (Bemmelen, 2003). Berikut ini dikemukakanbeberapa contoh yang membedakan.
Dalam hal-hal tertentu guru lebih banyak berinteraksi dengan anak laki-laki, tetapi dalam hal-hal tertentu lainnya guru lebih banyak berinteraksi dengan anakperempuan.
a)      Dalam memberikan mainan di Taman Kanak-kanak, anak laki-laki diberikan mainan mobil, sedangkan anak perempuan diberikan mainan boneka.
b)     Dalam memberikan pujian,  anak laki-laki dipuji karena kemampuan intelektualnya, sedangkan anak perempuan dipuji karena kerapiannya.
c)      Anak perempuan lebih sering disuruh untuk menjalankan peran membersihkan sesuatu atau meladeni sesuatu daripada anak laki-laki.
d)     Guru lebih sering memberikan pujian atau teguran kepada anak laki-laki daripada anak perempuan. Ini artinya, anak laki-laki lebih banyak mendapatperhatian daripada anak perempuan.
(5). Kebijakan yang bias gender
Terutama di tingkat SLTA (SMU, SMK), terdapat kebijakan yang biasgender seperti
a.  Anak perempuan yang hamil (karena kecelakaan) dikeluarkan darisekolah, sedangkan anak laki-laki yang menghamilinya tidak kena sanksi apapun,
 b. Tidak dibenarkan anak perempuan yang sudah menikah untuk mengikuti atau
Melanjutkan pendidikan di tingkat SLTP atau SLTA.Kebijakan pengangkatan guru atau kepala sekolah khususnya di tingkat SD,SLTP dan SLTA yang lebih berorientasi kepada laki-laki dan kebijakanpengangkatan guru dan kepala TK di TK yang lebih berorientasi kepada perempuan,juga merupakan kebijakan yang bias gender.Kebijakan itu merupakan pemicuketimpangan gender, karena berimplikasi kepada komposisi personalia pengajar dankepala sekolah.



Berkaiatan dengan faktor penentu ketimpangan gender, selain faktor penentuyang telah diuraikan tersebut, penting pula diperhatikan keluarga yang memilikikemampuan ekonomi terbatas dan kurangnya fasilitas pendidikan. Bagi keluargayang berlatar belakang ekonomi lemah, cendrung tidak memberikan anak perempuanuntuk memanfaatkan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki. Anakperempuan dinomorduakan dalam mengikuti atau melanjutkan pendidikan formal.Apabila terjadi hal yang demikian, maka pemerintah yang memiliki komitmenterhadap peraturan wajib belajar, berkewajiban untuk mengimbanginya dengankebijakan yang tepat.
Di desa-desa atau daerah-daerah terpencil khususnya, fasilitaspendidikan masih kurang.Keadaan ini berpengaruh buruk terhadap akses anak desauntuk mengikuti pendidikan formal. Jika pada suatu desa tidak ada SD atau SLTPumpamanya, maka anak-anak terpaksa mengikuti pendidikan formal di luar desa,yakni di desa lain atau di kota terdekat yang membutuhkan waktu dan biayatransportasi khusus.
Dalam keadaan seperti itu, orang tua cendrung tidakmengijinkan anak perempuan bersekolah, apalagi sekolah terdekat berjarak jauh.Hal ini terutama terjadi di kalangan keluarga yang tidak mampu secara ekonomis.

0 komentar:

Cliksense

Blog Archive

Total Tayangan Halaman

Pengikut